Jangan Mengucap ‘Ya Allah’ Ketika dalam Kondisi Tertekan Saja, Tapi Ucapkan 'Ya Allah' Kapan Saja.


Sifat welas asih yang dimiliki Allah itu jauh lebih besar daripada sifat marah-Nya. Oleh karena itu, kita diingatkan oleh Allah dengan masalah yang melilit kita.

KETIKA kita berada dalam kondisi terdesak, sontak bibir kita pun berucap, “Ya Allah!” Ketika kita sedang berada dalam titik kesulitan yang membuat semua hal terasa berat untuk ditanggung, kita pun terkadang refleks berucap, “Ya Allah!” Ketika kita berada di ambang bahaya, lisan kita pun tidak lekang mengucapkan, “Ya Allah!” Bahkan, ketika kita berada dalam posisi kalah oleh suatu masalah, sontak kita mengatakan, “Ya Allah!”



Semua itu pertanda bahwa kita sedang mengeluh karena keadaan yang menjepit kita. Dalam keadaan tersebut, kita seolah tidak bisa berbuat apa-apa selain meratapi permasalahan tersebut dengan mengucapkan “Ya Allah!” Padahal, ucapan tersebut justru kita lontarkan saat kita sedang berada pada situasi yang tidak menguntungkan alias sedang terbelit masalah hidup.

Meski demikian, biasanya meratapi dengan menyebutkan lontaran lafal “Ya Allah!” itu justru bukan lafal dzikir yang sebenarnya. Justru lafal tersebut ditujukan ketika kita sedang merasa lelah, lemah, dan tidak berdaya. Dengan demikian, di mana kita mengucapkan “Ya Allah!” ketika kita sedang bahagia?

Mengucapkan “Ya Allah!” bukan untuk memotivasi diri, melainkan malah sebaliknya, meratapi diri sendiri. Ucapan itu juga bisa berarti mengadu kepada Allah dan menganggap bahwa seolah-olah Allah yang berada di balik masalah. Padahal, itu menandakan bahwa kita memang sedang diuji oleh Allah. Jika kita diuji oleh Allah, apakah kita akan memarahi-Nya dengan meneriakkan “Ya Allah!”? Bukankah Allah itu ada di setiap saat, tetapi mengapa “Ya Allah!” hanya dilontarkan saat dalam keadaan terbelit masalah?

Seolah-olah pengucapan “Ya Allah!” itu karena kita tidak bisa menerima keadaan. Dengan tidak bisa menerima keadaan, kita kemudian melontarkan “Ya Allah!” Seolah-olah Allah dianggap sebagai pihak yang membuat kita tertekan oleh masalah.

Dalam arti lain pengucapan “Ya Allah!” adalah bukti bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan senantiasa mohon pertolongan Allah sebagai Dzat yang Mahakuat dan Mahakuasa. Kondisi yang benar-benar dalam tekanan dan berada dalam situasi yang terinjak, seolah kita baru menyadari bahwa kita adalah makhluk lemah sehingga menyebut Allah untuk memohon pertolongan.

Setidaknya ada beberapa hal mengapa ketika kita berada dalam kondisi tertekan, terdesak, dan sedang menghadapi masalah yang serius, kita justru menyebut asma Allah.

Pertama, kita adalah makhluk lemah dan menyadari bahwa Allah Dzat yang Mahakuasa. Ketika kita berada dalam kondisi yang menyenangkan, posisi nyaman, dan hati bahagia, seolah kita merasa bahwa kita adalah orang yang tidak membutuhkan bantuan dari siapa-siapa lagi di dunia ini. Bahkan, tanpa kita sadari kita telah melalaikan Allah. Ingatlah bahwa semua kebahagiaan tersebut adalah karena kuasa-Nya.

Nah, ketika kita diuji dengan masalah dan kita merasa tidak nyaman sehingga membuat hati kita galau, kita pun mengeluh dan hanya bilang “Ya Allah!” Di saat itulah kita sadar bahwa Allah memang ada dan kita merasa kecil serta lemah. Oleh karena itu, kita menjadi tersadar akan kebesaran Allah. Di sisi lain, kita pun menjadi makhluk yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan. Jika ketika bahagia kita seolah-olah tidak membutuhkan pertolongan siapa pun, sementara ketika kita sedang tertimpa masalah dan galau kita merasa bukan siapa-siapa dan justru membutuhkan pertolongan dari siapa pun yang bisa menolong. Bahkan, mengadu kepada Allah agar memberikan kita pertolongan secepatnya.

Dengan demikian, betapa naifnya kita. Perasaan jumawa telah merasuki hati kita sehingga ketika kita sedang berada di atas, kita tidak sadar bahwa kita tetap lemah. Oleh karena itu, tidak pantas bagi kita untuk memelihara sikap sombong. Perlu kita sadari dan tanamkan dalam hati dan pikiran kita bahwa sikap sombong hanya akan membawa kita kepada kehancuran. Kita tidak selamanya berada di atas, tidak selayaknya kita sombong. Kita harus tetap waspada untuk menghadapi berbagai masalah dan hal lainnya yang tidak bisa kita prediksikan sebelumnya. Oleh karena itu, merasa rendah diri di hadapan Allah adalah sikap yang harus kita kedepankan.



Kalam Allah berikut ini layak kita renungkan untuk berkehidupan kita.

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (QS al-Ma’arij [70]: 19-21)

Kedua, Allah sengaja memberikan ujian kepada kita agar kita kembali bisa mengingat Allah karena sebelumnya kita kerap kali melalaikan-Nya. Memang benar bahwa ketika kita berada dalam posisi nyaman, kita sering lalai bahwa yang membuat kita nyaman bukan sepenuhnya berasal dari usaha, tawakal, dan ikhtiar kita. Allah-lah melalui hukum alam-Nya berkehendak demikian. Oleh karena itu, Allah mempunyai ketentuan untuk kita berada dalam posisi nyaman.

Atas izin-Nya, kita berhasil melakukan usaha sehingga kita berada dalam kondisi yang menyenangkan. Atas kehendak-Nya, kita sukses merengkuh posisi nyaman dalam kehidupan. Atas ketentuan-Nya, kita bisa menjadi bahagia. Memang benar bahwa itu adalah usaha, tawakal, dan ikhtiar kita, tetapi kita harus memahami bahwa Allah berada di balik itu. Tanpa izin, kehendak, dan ketentuan Allah, semua itu tidak bisa kita raih.

Meski demikian, ketika kita berada di posisi atas, kita justru sering melupakan Allah. Mentang-mentang hidup kita sudah nyaman dan hati bahagia serta segala hal terasa sangat mudah, kita lupa bersyukur kepada Allah. Jika demikian, kita sudah termasuk dalam golongan orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Sementara itu, dalam ajaran Islam jelas dinyatakan bahwa orang yang kufur nikmat itu menerima azab Allah yang sangat pedih.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’.” (QS Ibrahim [141]: 7).

Meski demikian, sifat welas asih yang dimiliki Allah itu jauh lebih besar daripada sifat marah-Nya. Oleh karena itu, kita diingatkan oleh Allah dengan masalah yang melilit kita agar sadar dan mengingat Allah sebelum Allah benar-benar mengazab dengan azab yang begitu pedih. Ketika kita berada di posisi tinggi lalu kita terjatuh, itulah ujian dari Allah agar kita bisa kembali mengingat-Nya karena sebelumnya kita telah melalaikan-Nya.

Ketiga, pada dasarnya semua makhluk bertasbih dan berdzikir kepada Allah. Oleh karena itu, ketika kita berada dalam kondisi lemah, bahkan pikiran tidak bisa konsentrasi, lisan kita masih bisa mengucapkan asma Allah tanpa tersambung dengan perintah kita. Kita menyebut “Ya Allah!” tanpa kita sadari. Itu berarti semua makhluk Allah berdzikir kepada Allah.

Hal itu merupakan ‘sindiran’ bagi kita bahwa anggota tubuh kita saja mengingat Allah, mengapa kita justru melalaikan-Nya? Sesungguhnya seluruh makhluk yang ada di alam ini bertasbih dan menyatakan kebesaran Allah. Bisa saja termasuk lisan kita yang mungkin ketika kita dalam keadaan galau mengucapkan lafal “Ya Allah!” di luar kendali kita. Entah, yang pasti kita memang makhluk lemah yang membutuhkan Allah.

Allah berkalam dalam Al-Qur’an berikut ini.

“Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS al-Hadid [57]: 1)

Keempat, menyadarkan kita agar kita segera move on dan meninggalkan rasa galau. Jika kita telah menyebut “Ya Allah!”, itu artinya kita menyadari bahwa semua yang kita lakukan dan apa yang telah kita raih memang atas izin Allah. Oleh karena itu, seolah kita sadar bahwa segala hal yang menimpa kita, termasuk masalah hidup yang mendera pun atas izin Allah.

Dengan demikian, kita harus mendekat kepada Allah agar pertolongan Allah itu datang. Dengan menyadari hal itu, tidak ada alasan lagi kita berlama-lama dalam kegalauan. Kita harus move on secepatnya dan meraih prestasi yang telah menanti di kemudian hari.

Setidaknya, semua uraian dalam pembahasan ini mengungkapkan bahwa Allah memang menjadi tempat mengadu bagi kita. Bukan hanya karena dalam keadaan susah dan galau kita mengadu, melainkan dalam berbagai kondisi pun kita sudah selayaknya mengadu. Susah-senang, sedih bahagia, tertekan-nyaman, dan dalam berbagai kondisi lain pun kita harus mengadu kepada Allah. Hal itu menuntut kita sebagai makhluk Allah agar rajin-rajin berdoa karena berdoa adalah sikap kita untuk mengadu kepada Allah.

Berdoa kepada Allah merupakan bentuk penghambaan kita kepada-Nya dan penyerahan atas segala apa yang diberikan kepada kita. Doa adalah kepasrahan kita kepada Allah. Doa adalah penafian sikap sombong kita dan kita menyadari betul bahwa kita tidak layak sombong karena kebesaran itu hanya milik Allah. Untuk itu marilah kita mengadu kepada Allah dalam berbagai kondisi.

Sumber : Hidayatullah.coma

0 Response to "Jangan Mengucap ‘Ya Allah’ Ketika dalam Kondisi Tertekan Saja, Tapi Ucapkan 'Ya Allah' Kapan Saja."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel